Senin, 19 Mei 2014

sejarah kedaan daerah Jambi

KEBANGKITAN NASIONAL DI DAERAH JAMBI A. PEJABAT – PEJABAT PEMERINTAHAN a. Sultan Taha Saifuddin ( 1855 – 1904 ) Sultan Taha Saifuddin naik tahta tahun 1855 menggantikan Sultan Badurrachman Nazaruddin. Ia pada tahun 1858 meningkir dari kraton yang di duduki oleh Belanda dan tetap melakukan perlawanan hingga gugur pada tahun 1904. Sultan Taha di mata rakyat Jambi adalah Sultan yang sah, Sultan – sultan lain yang ada pada masa Sultan Taha masih hidup di angkat Belanda sebagai Sultan bayangan ( tidur ). b. Sultan Ahmad Nazaruddin ( 1855 – 1866 ) Sultan ini adalah sultan bayangan pertama, ia sebenarnya adalah paman Sultan Taha Saifuddin dan adik dari Sultan Abdurrahman. c. Sultan Mahmud Mahiddin ( 1881 – 1866 ) Sultan bayangan yang kedua, menggantikan Sultan Ahmad Nazaruddin. d. Sultan Ahmad Zainuddin ( 1866 – 1901 ) Sultan ini merupakan Sultan bayangan yang ketiga dan terakhir, karena sesudah Sultan ini mengundurkan diri tidak terdapat kesepakatan di antara para pembesar untuk calon penggantinya yang di angkat oleh Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Zainuddin ini mengangkat putra ketiga Sultan Taha yang bernama Raden Anom Kesumoyudo yang berumur empat tahun sebagai pangeran ratu dan sebagai kuasa pangeran ratu di angkat Raden Abdurrachman putra Sultan Mahmud Mahiddin dan Pangeran Ario Jayakusumo diganti dengan Pangeran Marto Jayakusumo putra SultanAbdurrachman Nazaruddin (Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi : 29-30 ). B. PENGARUH POLITIK KOLONIAL BELANDA DAN DESENTRALISASI DI DAERAH Politik kolonial sebenarnya tidak lain adalah usaha bagaimana untuk menguasai suatu daerah atau wilayah dengan menduduki serta mengeksploitasi semua potensi yang ada, baik dengan cara perundangan ataupun kekerasan. Khusus untuk daerah Jambi, politik kolonial Belanda sebelum abad ke-20 tampak dengan jelas dari perjanjian – perjanjian antara Belanda dengan Sultan Kerajaan Jambi ( Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi : 43 ). Perjanjian Sultan Jambi dengan Belanda misalnya : 1. Perjanjian 14 November atau perjanjian Sungai Batang. Perjanjian ini dipaksakan oleh Letnan Kolonel Michel yang masuk ke Sarolangun Jambi dari daerah Palembang kepada Sultan Fachruddin isinya Belanda mempunyai hak mendirikan kekuatan dalam daerah Jambi. 2. Lalu perjanjian yang di lakukan Sultan Ahmad Nazaruddin yaitu Negeri jambi hanya di pinjamkan kepada Sultan Jambi yang harus bersikap menurut dan setia serta menghormati pemerintah Belanda dan Pemerintahan Belanda berhak memungut cukai atas barang yang masuk dan keluar. Perlu dikemukakan bahwa perjanjian – perjanjian tersebut tidak seluruhnya dapat di terapkan kepada rakyat Jambi ketika saat itu tidak mau dijajah dan tetap patuh kepada Sultan yang syah yang tetap melakukan perlawanan hingga akhirnya gugur tahun 1904 dan baru setelah itu perintahan langsung Hindia – Belanda atas dearah Jambi dapat di selenggarakan (Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi : 34 ). Hal yang menarik dari perjanjian – perjanjian itu ialah adanya kesedian Belanda untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri dan tidak mengganggu adat istiadat dalam negeri Jambi. Konsekwensinya ialah Belanda tetap mengakui sistem pemerintahan yang di pimpin olehSultan waktu itu. Hal ini dilakukan Belanda sehubungan dengan gerakan kaum humanis di negeri Belanda yang menuntut agar pemerintahan Belanda mampu mensejahterakan rakyat jajahannnya, yang pada akhirnya menimbulkan konsepsi politik etis. Sebagai akibat gerakan kaum humanis di dalam pemerintahan wilayah juga terjadi perubahan konsep politik yang memungkinkan rakyat indonesia dipimpin langsung oleh seseorang dari mereka sendiri yang di angkat oleh pemerintah yang di akui ( Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi : 43 ). C. KEGIATAN MASYARAKAT YANG RELEVAN ATAUPUN YANG MERUPAKAN EMBRIO DARI PROSES SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL DI DAERAH JAMBI. Seperti yang sudah kita ketahuoi bahwa Sultan Taha Saifuddin gugur tahun 1904, sebagai konsekwensi dari perlawanan yang dilakukannya terhadap Belanda. Demikian pula Raden Mohammad Taher biasa disebut Raden Mat Taher, panglima tertinggi dari tentara Sultan Taha Gugur tahun 1907 di Muara Jambi. Disamping itu Belanda pada tahun 1903 dapat pula mematahkan perlawanan rakyat Jambi di Kerinci dan mengkap serta membuang bupati Purbo ke Ternate. Perjuangan Sultan Taha Saifuddin, Raden Mat Taher, Bupati Purbo dan pemimpin – pemimpin rakyat Jambi yang gugur yang di tangkap dan dibuang ke daerah lain, membuktikan kepada kita adanya keinginan untuk tidak memberi kesempatan kepada Belanda untuk menjalankan pemerintahan kolonial di daerah Belanda untuk menjalankan pemerintahan kolonial di daerah Jambi. Keinginan untuk melepaskan diri dari penjajahan dan mengusir penjajahan dari Jambi khususnya dari tanah air pada umumnya, menandakan bahwa di kalangan pemimpin dan rakyat Jambi sudah ada benih kesadaran nasional dalam perjuangan mereka mencapai kemerdekaan. Semangat keagamaan islam dan pengaruh pemimpin rakyat terutama Sultan Taha Saifuddin sangat mendalam di kalangan Rakyat Jambi. Rakyat Jambi sangat membenci Belanda, yang dianggapnya kaum kafir dan juga oleh karena Belanda menghapuskan kesultanan Jambi dengan mendirikan gewest Jambi pada tahun 1906. Proses sejarah kebangkitan nasional di daerah jambi sebenarnya tidak terlepas dari aspek historis diatas yang merupakan benih kesadaran nasional dan dalam kurun waktu berikutnya benih kesadaran nasional ini tumbuh dan berkembang menjadi kebangkitan nasional. Perkembangan kebangkitan nasional di daerah Jambi tidak berdiri sendiri. Di satu pihak ia di tentukan oleh usaha politik atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda di daerah Jambi, baik etische politiek maupun bukan. Di lain pihak ditentukan oleh masyarakat Jambi sendiri dan oleh situasi politik di pulau jawa. Usaha – usaha pemerintahan Belanda membangun dam – dam untuk mengairi sawah seperti dam di tanah tumbuh, dam semagi di poleyang, muara bungo, dan talang mersai, dan dam karang berahi di bangko. Tampaknya membantu rakyat dalam pertanian. Di samping itu rakyat di daerah – daerah yang tanahnya kurang subur dikerahkan untuk menanam pohon karet dan kelapa. Di kerinci rakyat digalakan untuk tanaman kopi dan demikian pula dalam bidang pendidikan, Belanda mendirikan sekolah – sekolah desa, yakni sekolah tingkat permulaan di setiap marga. Namun hasil dari usaha – usaha ini bagi rakyat di daerah Jambi tidak mempunyai banyak arti karena hanya dapat di nikmati oleh sebagian kecila rakyat Jambi ketika itu. Bagian terbesar dari rakyat Jambi tetap mengalami penderitaan sebagai akibat dari adanya pajak – pajak yang di beratkan dan kerja rodi dalam pembuatan jalan – jalan. Dengan demikian Belanda pada hakekatnya tetap konsisten dengan tujuan polotik kolonialnya. Rakyat Jambi yang terkenal fanatik dan tidak senang dengan Belanda yang di anggapnya kafir, tidak dapat menerima program pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kebanyakan anak – anak dan pemuda bersekolah di madrasah – madrasah islam yang ada ketika itu. Bersamaan dengan itu, Belanda melakukan pula pemindahan penduduk teristimewa pegawai – pegawai pribumi yang aktif dalam pergerakan polotik Jawa. Ketika Belanda telah menyelesaikan dam – dam untuk mengairi sawah di daerah Bangko pada tahun 1914 di pindahkan 3 orang pegawai pribumi yang menjadi mantri tani dan aktivis Serikat Dagang Islam dari Surakarta ke Jambi. Mas Sumodirono mantri sawah di Bangko, Raden Indrayudo mantri sawah di Sungai Manau, dan Raden Mas Sumerejo di Karang Berahi. Keinginan rakyat untuk di pimpin oleh bangsa sendiri masih belum hilang bahkan semangat perlawanan menentang Belanda tetap meyala dan dengan Serikat Islam aspirasi dan kegiatan masyarakat itu mendapat tempatnya pula. Tidaklah heran pada tahun 1916 Serikat Islam yang berkembang dengan pesat ini dapat melakukan perlawanan bersenjata terhadap Belanda karena didukung sepenuhnya oleh faham keagamaan dan kebangsaan menentang penjajah ( Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi : 48 – 49 ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senin, 19 Mei 2014

sejarah kedaan daerah Jambi

Diposting oleh Rensy Novianny di 19.04
KEBANGKITAN NASIONAL DI DAERAH JAMBI A. PEJABAT – PEJABAT PEMERINTAHAN a. Sultan Taha Saifuddin ( 1855 – 1904 ) Sultan Taha Saifuddin naik tahta tahun 1855 menggantikan Sultan Badurrachman Nazaruddin. Ia pada tahun 1858 meningkir dari kraton yang di duduki oleh Belanda dan tetap melakukan perlawanan hingga gugur pada tahun 1904. Sultan Taha di mata rakyat Jambi adalah Sultan yang sah, Sultan – sultan lain yang ada pada masa Sultan Taha masih hidup di angkat Belanda sebagai Sultan bayangan ( tidur ). b. Sultan Ahmad Nazaruddin ( 1855 – 1866 ) Sultan ini adalah sultan bayangan pertama, ia sebenarnya adalah paman Sultan Taha Saifuddin dan adik dari Sultan Abdurrahman. c. Sultan Mahmud Mahiddin ( 1881 – 1866 ) Sultan bayangan yang kedua, menggantikan Sultan Ahmad Nazaruddin. d. Sultan Ahmad Zainuddin ( 1866 – 1901 ) Sultan ini merupakan Sultan bayangan yang ketiga dan terakhir, karena sesudah Sultan ini mengundurkan diri tidak terdapat kesepakatan di antara para pembesar untuk calon penggantinya yang di angkat oleh Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Zainuddin ini mengangkat putra ketiga Sultan Taha yang bernama Raden Anom Kesumoyudo yang berumur empat tahun sebagai pangeran ratu dan sebagai kuasa pangeran ratu di angkat Raden Abdurrachman putra Sultan Mahmud Mahiddin dan Pangeran Ario Jayakusumo diganti dengan Pangeran Marto Jayakusumo putra SultanAbdurrachman Nazaruddin (Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi : 29-30 ). B. PENGARUH POLITIK KOLONIAL BELANDA DAN DESENTRALISASI DI DAERAH Politik kolonial sebenarnya tidak lain adalah usaha bagaimana untuk menguasai suatu daerah atau wilayah dengan menduduki serta mengeksploitasi semua potensi yang ada, baik dengan cara perundangan ataupun kekerasan. Khusus untuk daerah Jambi, politik kolonial Belanda sebelum abad ke-20 tampak dengan jelas dari perjanjian – perjanjian antara Belanda dengan Sultan Kerajaan Jambi ( Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi : 43 ). Perjanjian Sultan Jambi dengan Belanda misalnya : 1. Perjanjian 14 November atau perjanjian Sungai Batang. Perjanjian ini dipaksakan oleh Letnan Kolonel Michel yang masuk ke Sarolangun Jambi dari daerah Palembang kepada Sultan Fachruddin isinya Belanda mempunyai hak mendirikan kekuatan dalam daerah Jambi. 2. Lalu perjanjian yang di lakukan Sultan Ahmad Nazaruddin yaitu Negeri jambi hanya di pinjamkan kepada Sultan Jambi yang harus bersikap menurut dan setia serta menghormati pemerintah Belanda dan Pemerintahan Belanda berhak memungut cukai atas barang yang masuk dan keluar. Perlu dikemukakan bahwa perjanjian – perjanjian tersebut tidak seluruhnya dapat di terapkan kepada rakyat Jambi ketika saat itu tidak mau dijajah dan tetap patuh kepada Sultan yang syah yang tetap melakukan perlawanan hingga akhirnya gugur tahun 1904 dan baru setelah itu perintahan langsung Hindia – Belanda atas dearah Jambi dapat di selenggarakan (Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi : 34 ). Hal yang menarik dari perjanjian – perjanjian itu ialah adanya kesedian Belanda untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri dan tidak mengganggu adat istiadat dalam negeri Jambi. Konsekwensinya ialah Belanda tetap mengakui sistem pemerintahan yang di pimpin olehSultan waktu itu. Hal ini dilakukan Belanda sehubungan dengan gerakan kaum humanis di negeri Belanda yang menuntut agar pemerintahan Belanda mampu mensejahterakan rakyat jajahannnya, yang pada akhirnya menimbulkan konsepsi politik etis. Sebagai akibat gerakan kaum humanis di dalam pemerintahan wilayah juga terjadi perubahan konsep politik yang memungkinkan rakyat indonesia dipimpin langsung oleh seseorang dari mereka sendiri yang di angkat oleh pemerintah yang di akui ( Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi : 43 ). C. KEGIATAN MASYARAKAT YANG RELEVAN ATAUPUN YANG MERUPAKAN EMBRIO DARI PROSES SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL DI DAERAH JAMBI. Seperti yang sudah kita ketahuoi bahwa Sultan Taha Saifuddin gugur tahun 1904, sebagai konsekwensi dari perlawanan yang dilakukannya terhadap Belanda. Demikian pula Raden Mohammad Taher biasa disebut Raden Mat Taher, panglima tertinggi dari tentara Sultan Taha Gugur tahun 1907 di Muara Jambi. Disamping itu Belanda pada tahun 1903 dapat pula mematahkan perlawanan rakyat Jambi di Kerinci dan mengkap serta membuang bupati Purbo ke Ternate. Perjuangan Sultan Taha Saifuddin, Raden Mat Taher, Bupati Purbo dan pemimpin – pemimpin rakyat Jambi yang gugur yang di tangkap dan dibuang ke daerah lain, membuktikan kepada kita adanya keinginan untuk tidak memberi kesempatan kepada Belanda untuk menjalankan pemerintahan kolonial di daerah Belanda untuk menjalankan pemerintahan kolonial di daerah Jambi. Keinginan untuk melepaskan diri dari penjajahan dan mengusir penjajahan dari Jambi khususnya dari tanah air pada umumnya, menandakan bahwa di kalangan pemimpin dan rakyat Jambi sudah ada benih kesadaran nasional dalam perjuangan mereka mencapai kemerdekaan. Semangat keagamaan islam dan pengaruh pemimpin rakyat terutama Sultan Taha Saifuddin sangat mendalam di kalangan Rakyat Jambi. Rakyat Jambi sangat membenci Belanda, yang dianggapnya kaum kafir dan juga oleh karena Belanda menghapuskan kesultanan Jambi dengan mendirikan gewest Jambi pada tahun 1906. Proses sejarah kebangkitan nasional di daerah jambi sebenarnya tidak terlepas dari aspek historis diatas yang merupakan benih kesadaran nasional dan dalam kurun waktu berikutnya benih kesadaran nasional ini tumbuh dan berkembang menjadi kebangkitan nasional. Perkembangan kebangkitan nasional di daerah Jambi tidak berdiri sendiri. Di satu pihak ia di tentukan oleh usaha politik atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda di daerah Jambi, baik etische politiek maupun bukan. Di lain pihak ditentukan oleh masyarakat Jambi sendiri dan oleh situasi politik di pulau jawa. Usaha – usaha pemerintahan Belanda membangun dam – dam untuk mengairi sawah seperti dam di tanah tumbuh, dam semagi di poleyang, muara bungo, dan talang mersai, dan dam karang berahi di bangko. Tampaknya membantu rakyat dalam pertanian. Di samping itu rakyat di daerah – daerah yang tanahnya kurang subur dikerahkan untuk menanam pohon karet dan kelapa. Di kerinci rakyat digalakan untuk tanaman kopi dan demikian pula dalam bidang pendidikan, Belanda mendirikan sekolah – sekolah desa, yakni sekolah tingkat permulaan di setiap marga. Namun hasil dari usaha – usaha ini bagi rakyat di daerah Jambi tidak mempunyai banyak arti karena hanya dapat di nikmati oleh sebagian kecila rakyat Jambi ketika itu. Bagian terbesar dari rakyat Jambi tetap mengalami penderitaan sebagai akibat dari adanya pajak – pajak yang di beratkan dan kerja rodi dalam pembuatan jalan – jalan. Dengan demikian Belanda pada hakekatnya tetap konsisten dengan tujuan polotik kolonialnya. Rakyat Jambi yang terkenal fanatik dan tidak senang dengan Belanda yang di anggapnya kafir, tidak dapat menerima program pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kebanyakan anak – anak dan pemuda bersekolah di madrasah – madrasah islam yang ada ketika itu. Bersamaan dengan itu, Belanda melakukan pula pemindahan penduduk teristimewa pegawai – pegawai pribumi yang aktif dalam pergerakan polotik Jawa. Ketika Belanda telah menyelesaikan dam – dam untuk mengairi sawah di daerah Bangko pada tahun 1914 di pindahkan 3 orang pegawai pribumi yang menjadi mantri tani dan aktivis Serikat Dagang Islam dari Surakarta ke Jambi. Mas Sumodirono mantri sawah di Bangko, Raden Indrayudo mantri sawah di Sungai Manau, dan Raden Mas Sumerejo di Karang Berahi. Keinginan rakyat untuk di pimpin oleh bangsa sendiri masih belum hilang bahkan semangat perlawanan menentang Belanda tetap meyala dan dengan Serikat Islam aspirasi dan kegiatan masyarakat itu mendapat tempatnya pula. Tidaklah heran pada tahun 1916 Serikat Islam yang berkembang dengan pesat ini dapat melakukan perlawanan bersenjata terhadap Belanda karena didukung sepenuhnya oleh faham keagamaan dan kebangsaan menentang penjajah ( Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi : 48 – 49 ).

0 komentar on "sejarah kedaan daerah Jambi"

Posting Komentar